Halaman

Senin, 18 Februari 2008

PRIORITAS AMALAN HATI ATAS AMALAN ANGGOTA BADAN


DI ANTARA amalan yang sangat dianjurkan menurut pertimbangan
agama ialah amalan batiniah yang dilakukan oleh hati manusia.
Ia lebih diutamakan daripada amalan lahiriah yang dilakukan
oleh anggota badan, dengan beberapa alasan.

Pertama, karena sesungguhnya amalan yang lahiriah itu tidak
akan diterima oleh Allah SWT selama tidak disertai dengan
amalan batin yang merupakan dasar bagi diterimanya amalan
lahiriah itu, yaitu niat; sebagaimana disabdakan oleh Nabi
saw:

"Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan
niat." 32

Arti niat ini ialah niat yang terlepas dari cinta diri dan
dunia. Niat yang murni untuk Allah SWT. Dia tidak akan
menerima amalan seseorang kecuali amalan itu murni untuk-Nya;
sebagaimana difirmankan-Nya:

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus..." (al-Bayyinah: 5)

Rasulullah saw bersabda,

"Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang
murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya."33

Dalam sebuah hadits qudsi diriwayatkan, Allah SWT berfirman,

"Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan
persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan kemudian
dia mempersekutukan diri-Ku dengan yang lain, maka Aku
akan meninggalkannya dan meninggalkan sekutunya." Dalam
riwayat yang lain disebutkan: "Maka dia akan menjadi
milik sekutunya dan Aku berlepas diri darinya." 34

Kedua, karena hati merupakan hakikat manusia, sekaligus
menjadi poros kebaikan dan kerusakannya. Dalam Shahih Bukhari
dan Muslim disebutkan bahwasanya Nabi saw bersabda,

"Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada
segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh
tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh
tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah
hati."35

Nabi saw. menjelaskan bahwasanya hati merupakan titik pusat
pandangan Allah, dan perbuatan yang dilakukan oleh hatilah
yang diakui (dihargai/dinilai) oleh-Nya. Karenanya, Allah
hanya melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah
akan menerima amalnya: dan bila kotor hatinya (niatnya tidak
benar), maka otomatis amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana
disabdakan oleh baginda,

"Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan
bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu."
36

Yang dimaksudkan di sini ialah diterima dan diperhatikannya
amalan tersebut.

Al-Qur'an menjelaskan bahwasanya keselamatan di akhirat kelak,
dan perolehan surga di sana, hanya dapat dicapai oleh orang
yang hatinya bersih dari kemusyrikan, kemunafikan dan
penyakit-penyakit hati yang menghancurkan. Yaitu orang yang
hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang
Dia firmankan melalui lidah nabi-Nya, Ibrahim al-Khalil a.s.

"Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka
dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak
berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan
hati yang bersih." (as-Syu'ara': 87-89)

"Dan didekatlah surga itu kepada orang-orang yang
bertaqwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka).
Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap
hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara
(semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut
kepada tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan
(olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat."
(Qaf: 31-33)

Keselamatan dari kehinaan pada hari kiamat kelak hanya
diberikan kepada orang yang datang kepada Allah SWT dengan
hati yang bersih. Dan surga hanya diberikan kepada orang yang
datang kepada Tuhannya dengan hati yang pasrah.

Taqwa kepada Allah --yang merupakan wasiat bagi orang-orang
terdahulu dan yang terkemudian, merupakan dasar perbuatan yang
utama, kebajikan, kebaikan di dunia dan akhirat-- pada hakikat
dan intinya merupakan persoalan hati. Oleh karena itu Nabi saw
bersabda, "Taqwa itu ada di sini," sambil menunjuk ke dadanya
sebanyak tiga kali. Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali
sambil memberikan isyarat dengan tangannya ke dadanya agar
dapat dipahami oleh akal dan jiwa manusia.

Sehubungan dengan hal ini, al-Qur'an memberi isyarat bahwa
ketaqwaan itu dilakukan oleh hati manusia:

"Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa
mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari ketaqwaan hati." (al-Hajj: 32)

Semua tingkah laku dan perbuatan yang mulia, serta tingkatan
amalan rabbaniyah yang menjadi perhatian para ahli suluk dan
tasawuf, serta para penganjur pendidikan ruhaniah, merupakan
perkara-perkara yang berkaitan dengan hati; seperti menjauhi
dunia, memberi perhatian yang lebih kepada akhirat, keikhlasan
kepada Allah, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal
kepada Allah, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada
siksaan-Nya, mensyukuri nikmatNya, bersabar atas bencana,
ridha terhadap ketentuan-Nya, selalu mengingat-Nya, mengawasi
diri sendiri... dan lain-lain. Perkara-perkara ini merupakan
inti dan ruh agama, sehingga barangsiapa yang tidak memiliki
perhatian sama sekali terhadapnya maka dia akan merugi
sendiri, dan juga rugi dari segi agamanya.

Siapa yang mensia-siakan umurnya, maka dia tidak akan
mendapatkan apa-apa

Anas meriwayatkan dari Nabi saw,

"Tiga hal yang bila siapapun berada di dalamnya, maka dia
dapat menemukan manisnya rasa iman. Hendaknya Allah dan
Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; hendaknya
ia mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali
karena Allah; dan hendaknya ia benci untuk kembali kepada
kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke
dalam api neraka." 37

"Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga aku
lebih dicintainya daripada orangtua dan anaknya, serta
manusia seluruhnya." 38

Diriwayatkan dari Anas bahwa ada seorang lelaki yang bertanya
kepada Nabi saw, "Kapankah kiamat terjadi wahai Rasulullah?"
Beliau balik bertanya: "Apakah yang telah engkau persiapkan?"
Dia menjawab, "Aku tidak mempersiapkan banyak shalat dan
puasa, serta shadaqah, tetapi aku mencintai Allah dan
Rasul-Nya." Rasulullah saw kemudian bersabda, "Engkau akan
bersama orang yang engkau cintai."39

Hadits ini dikuatkan oleh hadits Abu Musa bahwa ada seseorang
berkata kepada Nabi saw, "Ada seseorang yang mencintai kaum
Muslimin, tetapi dia tidak termasuk mereka." Nabi saw
menjawab, "Seseorang akan bersama dengan orang yang dia
cintai."40

Hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa cinta kepada Allah
SWT dan Rasulullah, serta cinta kepada hamba-hamba-Nya yang
shaleh merupakan cara pendekatan yang paling baik kepada Allah
SWT; walaupun tidak disertai dengan tambahan shalat, puasa dan
shadaqah.

Hal ini tidak lain adalah karena cinta yang murni merupakan
salah satu amalan hati, yang memiliki kedudukan tinggi di sisi
Allah SWT.

Atas dasar itulah beberapa ulama besar berkata,

"Aku cinta kepada orang-orang shaleh walaupun aku tidak
termasuk golongan mereka."

"Aku berharap hahwa aku bisa mendapatkan syafaat (ilmu,
dan kebaikan) dari mereka."

"Aku tidak suka terhadap barang-barang maksiat, walaupun
aku sama maksiatnya dengan barang-barang itu. "

Cinta kepada Allah, benci karena Allah merupakan salah satu
bagian dari iman, dan keduanya merupakan amalan hati manusia.

Dalam sebuah hadits disebutkan,

"Barangsiapa mencintai karena Allah, marah karena Allah,
memberi karena Allah, menahan pemberian karena Allah,
maka dia termasuk orang yang sempurna imannya."41

"Ikatan iman yang paling kuat ialah berwala' karena
Allah, bermusuhan karena Allah, mencintai karena Allah,
dan membenci karena Allah SWT." 42

Oleh sebab itu, kami sangat heran terhadap konsentrasi yang
diberikan oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para dai'
yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan
dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada
perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih
banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian,
memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita,
hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau
kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan
dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan
inti dan ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak
begitu diberi prioritas dalam agama ini.

Saya sendiri memperhatikan --dengan amat menyayangkan-- bahwa
banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk
lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya --Saya tidak
berkata mereka semuanya-- mereka begitu mementingkan hal
tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting
dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada
kedua orangtua, silaturahim, menyampaikan amanat, memelihara
hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada
orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk
Allah, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang
jelas diharamkan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh
Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya,
di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu'minun, akhir surah
al-Furqan, dan lain-lain.

Saya tertarik dengan perkataan yang diucapkan oleh saudara
kita, seorang dai' Muslim, Dr. Hassan Hathout yang tinggal di
Amerika, yang sangat tidak suka kepada sebagian saudara kita
yang begitu ketat dan kaku dalam menerapkan hukum Islam yang
berkaitan dengan daging halal yang telah disembelih menurut
aturan syariat. Mereka begitu ketat meneliti daging-daging
tersebut apakah ada kemungkinan bahwa daging tersebut
tercampur dengan daging atau lemak babi, walaupun
persentasenya hanya sebesar satu persen, atau seperseribunya;
tetapi dalam masa yang sama dia tidak memperhatikan bahwa dia
memakan bangkai saudaranya setiap hari beberapa kali (dengan
fitnah dan mengumpat/ghibah), sehingga saudaranya dapat
menjadi sasaran syubhat dan tuduhan, atau dia sendiri yang
menciptakan tuduhan-tuduhan tersebut.

Catatan kaki:

32 Muttafaq Alaih dari Umar (al-Lu'lu' wa al-Marjan, 1245),
hadits pertama yang dimuat dalam Shahih al-Bukhari

33 Diriwayatkan oleh Nasai dari Abu Umamah, dan dihasankan
olehnya dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir(1856)

34 Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah r.a. dengan lafal
hadits yang pertama, sedangkan lafal yang lainnya diriwayatkan
oleh Ibn Majah.

35 Muttafaq 'Alaih, dari Nu'man bin Basyir, yang merupakan
bagian daripada hadits, "Yang halal itu jelas, dan yang haram
itu juga jelas" (Lihat al-Lu'lu' wa al-Marjan, 1028)

36 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564)

37 Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu'wa al-Marjan, 26)

38 Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu' wa al-Marjan, 27)

39 Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu' wa al-Marjan, 1693)

40 Muttafaq 'Alaih dari Anas (al-Lu'lu' wa al- Marjan, 1694)

41 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab al-Sunnah dari Abu
Umamah (4681), dan dalam al-Jami' as-Shaghir riwayat ini
dinisbatkan kepada Dhiya' (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 5965)

42 Diriwayatkan oleh al-Thayalisi, Hakim, dan Thabrani dalam
al-Kabir, dan al-Awsath dari Ibn Mas'ud, Ahmad, dan Ibn Abi
Syaibah dari Barra" dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari
Ibn ,Abbas (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 2539)

------------------------------------------------------
FIQH PRIORITAS
Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah
Dr. Yusuf Al Qardhawy
Robbani Press, Jakarta

Tidak ada komentar: